Tuesday, November 14, 2006

Media Indonesia dan foto-fotonya

Artikel-artikel tentang Bima ini saya dapat dari suplemen Koran MEdia Indonesia
Mudah-mudahan bermanfaat






Pantai Lakey dan Wara



Pantai Lakey

Setiap Maret hingga Agustus, Pantai Lakey diserbu wisatawan mancanegara. Dari Bali dan Lombok, mereka beralih ke Sumbawa, tepatnya Desa Hu'u, Kabupaten Dompu.

Susah payah mereka membawa peralatan lumayan berat supaya dapat menikmati sensasi surfing dan wind surfing. Lokasinya sekitar dua jam perjalanan dari Bandar Udara Muhammad Salahuddin. Harus menyewa mobil, sekali perjalanan Rp.500 ribu.

Setelah bom Bali, Pantai Lakey sempat sepi. Wisatawan Australia yang rajin menyambangi takut datang. Namun, dua tahun belakangan Lakey kembali hidup. Kali ini, pengunjungnya datang dari negara-negara di Amerika Latin dan Eropa. Mereka tinggal hingga hitungan minggu dan bulan, sebelum akhirnya berangkat lagi mencari tantangan baru.

Pantai Lakey cukup dikenal di kala­ngan penggila selancar. Ombaknya tidak istimewa, hanya setinggi enam sampai delapan meter. Kalah jauh dari Hawaii yang ketinggian ombaknya mampu mencapai belasan meter. Namun, Lakey menjadi istimewa karena memiliki arah ombak ke kiri, bukan ke kanan seperti pada umumnya laut. "Untuk mengatasinya perlu keahlian tersendiri. Medannya menjadi berat karena ombaknya kidal," ujar salah satu wisatawan dari Brasil yang ditemui tengah asyik mengoles muka dengan krim pelindung matahari.

Lakey di akhir Agustus lalu masih menyisakan gulungan ombak cukup tinggi meski tidak sedahsyat bulan terbaik, Maret hingga Juni. Belasan wisatawan sibuk memacu adrenalin, memulai aktivitas dengan berlari di hamparan pasir.

Wara

Dari Kota Bima, Wara bisa dicapai sekitar tiga jam perjalanan, sebelum akhirnya melingkar kembali ke titik awal. Pantai di kawasan Wara, Kabupaten Bima, benar-benar masih alami, belum terkelola.

Di terik matahari, air lautnya biru berkilau dengan lengkungan putih di bibir pantai. Panasnya membuat tumbuhan di sepanjang jalan mera­nggas cokelat tanpa daun. Membingkai jalanan aspal berkontur turun naik. Dijamin sepanjang perjalanan Anda akan terpesona. Sesekali sisi-sisinya berpadu antara pantai dan tanah lapang gundul, juga padang.

Saat memasuki desa, rumah-rumah tradisional khas Bima berdiri utuh. Lengkap dengan sapi, kuda, dan keliaran binatang lain. Lima jam perjalanan dari Kota Bima, melingkar melewati Wara, pasti tidak akan sia-sia. Pemandangan yang terpampang, lekat terbingkai di kenangan. (S-1)

Buah Tangan Mbojo

Buah Tangan Mbojo

Bila datang ke Pulau Sumbawa, Anda harus rajin bereksplorasi. Mencari sendiri objek wisata, makanan tradisional, hingga kerajinan yang bisa dijadikan oleh-oleh. Informasi tentang semua itu masih sangat sedikit.

Jika ingin membawa buah tangan kue kering dan jajanan basah seperti kue beras dan lumpur khas Mbojo atau Bima, eksplorasilah Kampung Melayu. Pasangan Khalid Ahmad dan Farida, misalnya, melayani berbagai berbagai pembuatan kue. Kreasi mereka sering dijadikan oleh-oleh. Sudah dibawa ke Bali, Surabaya, hingga Jakarta.

Kalau ingin membeli kain tenun, bisa datang langsung ke penenunnya di Desa Ntobo dan kawasan Donggo. Jika tidak ingin repot, datang saja ke Raba Dompu Kota Bima. Beberapa rumah di kawasan itu sudah menjadi sentra perajin kain tenun.

Anda juga bisa datang ke Toko Suvenir Muthmainah yang terletak di pusat Kota Bima. Menyediakan aneka kain tenun, kerajinan mutiara air laut, tawar, madu, hingga minyak Sumbawa. Sundari, pemiliknya, juga menyediakan home stay yang sangat layak dijadikan pilihan menginap.

Khusus kerajinan mutiara, Anda akan disodori berbagai pilihan. Harganya bervariasi. Mulai Rp.20 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung jenis, kualitas, juga ikatannya. (S-1)

Panutan Daro Mbojo

Malam itu, bulan sabit ditemani ratusan bintang. Jarum jam sudah melewati angka 10 waktu Indonesia bagian timur. Tapi tamu di rumah Siti Maryam Salahuddin yang ada di Bima masih ramai. Dari orang-orang pemda hingga tamu individu yang ingin meminta nasihat dan jalan keluar dari sebuah persoalan. "Mungkin karena lulus sekolah hukum, saya dikira hakim," kata Maryam berkelakar.

Seorang tamu berkomentar, begitulah suasana di rumah jika Maryam kebetulan bersambang ke Bima. Kondisi yang sama juga ditemui di rumahnya yang ada di Mataram. Hampir setiap hari selalu ada tamu. Sekadar mengobrol sampai meminta nasihat.

Maryam lahir 13 Juni 1927. Karismanya tak pupus dimakan usia. Kebijaksanaannya justru bertambah. Tapi kesan utama yang menonjol ialah semangat belajarnya yang tak surut bersama lalunya waktu.

Ada kisah tentang kuatnya kemauan belajar yang sudah dimiliki sejak kecil. Tahun pertama SMA dia jalani di Malang, Jawa Timur. Tapi baru setahun menimba ilmu, dia dipanggil pulang karena meletus perang dunia kedua.

"Harus segera naik pesawat," ceritanya.

Maryam pun menangis, meski tetap menuruti titah sang ayah. Sesampai di Bima, dia harus menjalani masa pemingitan, seperti umumnya gadis-gadis Bima. Dia tidak boleh lagi sekolah. Putri Sultan Muhammad Salahuddin itu akhirnya belajar sendiri di rumah. Dari sang ayah, dia minta dibelikan banyak buku. Baik yang berbahasa Inggris maupun Belanda. Maryam remaja juga mulai mempelajari bahasa Jepang. "Saya tidak mau ditipu karena tidak bisa bahasa Jepang," katanya tergelak.

Roda nasib terus berputar. Sekitar 1949-saat usianya memasuki 22 tahun-Presiden Soekarno datang ke Bima. Dalam sebuah acara makan malam, Bung Karno bertanya, "Kamu sekolah?"

"Tidak, Pak."

"Lo, kenapa?"

"Karena anak perempuan di Bima yang sudah besar tidak boleh sekolah lagi."

Jawaban Maryam membuat kedua orang tuanya kebakaran jenggo Dia pun mendapat cubitan dari sang ibu. Apalagi dalam sebuah pidato di Bima, Bung Karno mengatakan anak perempuan tidak boleh berhenti belajar.

Akhimya, Maryam diperbolehkan lagi sekolah. Dia berangkat ke Jakarta, bekerja di Departemen Luar Negeri, ikut ujian persamaan di SMAN Boedi Oetomo, Jakarta. "Langsung lulus. Saya merasakan betul perbedaan kurikulum Belanda dan Indonesia. Saat itu, saya bisa melalui ujian dengan sangat mudah," katanya. Maryam kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia hingga meraih gelar sarjana. Dalam catatan kariernya, Maryam sempat menjadi staf khusus pidana kehakiman, anggota DPR RI, Ketua Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, juga Ketua Atletik Indonesia.

Dalam keseharian, dia dikenal sebagai pribadi jujur dan arif. Utamanya semangat belajar yang tak pernah surut. Pengetahuannya yang luas, terutama tentang sejarah Bima, membuat dia banyak dicari orang. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri.

Di usia senja, Maryam masih sangat aktif. Penguasaan bahasa menunjang semua itu. Dia lancar berbahasa Arab, Belanda, Prancis, Inggris, dan sedikit Jepang. Kini, dia tengah memperdalam aksara Bima. Maryam menjadi panutan sekaligus inspirasi banyak orang.

Tak terasa, malam kian larut. Udara Bima makin dingin. Jarum jam menunjukkan angka 12. Tapi Maryam masih bersemangat. Di depannya berserakan aneka buku, termasuk salah satu kitab asli Bo Sangaji Kai Tim Media Indonesia dan Metro TV pamit. Kantuk tak lagi tertahan, kalah dengan semangat putri ketujuh Sultan Muhammad Salahuddin yang usianya sudah memasuki kepala delapan. (S-1)

Kekhawatiran Maryam



Kekhawatiran Maryam

Ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Lima tahun membaca, Siti Maryam Salahuddin bersama beberapa ahli baru bisa menyelesaikan satu kitab. Dia kemudian membuat katalogus naskah kuno Bima bersama almarhum sahabatnya, Rujiati SW Mulyadi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang juga pernah menjabat Ketua Pusat Dokumentasi HB Jassin. Buku lainnya dibuat bersama ahli sejarah dari Prancis Henry Chambert Loir.

Masih menumpuknya naskah kuno jelas mem­buat dia khawatir. Dalam setiap perbincangan, Maryam yang kini me­masuki usia 80 tahun sering melontarkan per­tanyaan, "Mengapa ge­nerasi muda sekarang jarang tertarik mengetahui bagian sejarah negeri sendiri?" Kekhawatiran itu kian bertambah karena tulisan Arab Melayu Bo Sangaji Kai tidak bisa begitu saja diterjemahkan. Pasalnya, banyak menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Bima. Itu berarti, para ahli harus bekerja sama dengan orang yang mengerti bahasa dan sejarah Bima.

Maryam juga mengungkapkan kekhawatiran akan punahnya aksara Bima. Sampai sekarang, dia sendiri masih terus belajar. "Belum lancar," katanya. Tapi untung ada seorang mahasiswa IAIN Mataram, Lombok, yang tertarik dan kini sudah mulai lancar membaca aksara Bima.

Dulu, kisahnya, ada seorang filolog dari Negeri Kincir Angin menunjukkan minat serupa. Datang menemui Maryam di Mataram, membawa foto kopi huruf yang diperoleh dari sebuah lontar yang sudah lama disimpan di salah satu museum di Belanda. "Setelah dicocok­kan, huruf itu ternyata aksara Bima. Dia belajar, me-ngeja satu per satu, kemudian saya rangkai. Tapi sekarang dia sudah meninggal. Jadi berku­rang satu orang yang mengenal aksara Bima," tutur Maryam.

Untuk melestarikan bahasa Bima, Maryam punya cita-cita besar. Pada Juli 2007, dia akan meluncurkan kebera­daan aksara Bima pada seminar internasional naskah Bima di Bima. Sebuah lompatan besar karena seminar itu akan dihadiri banyak ahli sejarah, arkeologi, dan filologi. Sedikitnya 10 negara sudah memberi konfirmasi kehadiran para ahlinya. (S-1)


Anak Bima memimpin Sumbawa

Anak Bima memimpin Sumbawa. Kisah itu tercatat dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai, milik Kerajaan Bima.

Inilah kisah kelahiran kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Tercatat lengkap dalam Bo Sangaji Kai naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu.

Berisi berbagai kisah bak legenda, juga susunan pemerintahan dari abad ke abad. Termasuk hubungan dengan raja-raja Jawa dan perjanjian dengan Belanda.

Catatan Bima dimulai pada abad 14, ketika Sumbawa diperintah kepala suku yang mereka sebut Ncuhi. Terbagi dalam lima wilayah, selatan, barat, utara, timur, dan tengah. "Terkuat dan tertua ialah Ncuhi Dara. Kini wilayahnya disebut Kampung Dara," cerita Hajjah Siti Maryam Salahuddin, keturunan Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin (1915-1951) kepada Media Indonesia. Maryam ialah satu dari sedikit orang yang bisa membaca huruf Arab Melayu di kitab Bo Sangaji Kai

Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan ketika Indra Zamrud diangkat menjadi Raja Bima pertama. Dialah anak sang Bima. Nama ayahnya kemudian digunakan untuk menyebut kawasan Bima-dalam bahasa setempat disebut Mbojo-meliputi Pulau Sumbawa.

Kisah Indra. Zamrud dimulai pada masa kanak-­kanaknya ketika dikirim sang ayah ke Pulau Sumbawa menggunakan keranjang bambu. Dia mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Kedatangannya sudah didengar Ncuhi Dara. Dia pun kemudian menyambut serta mengangkatnya menjadi anak.

Beranjak dewasa, lima Ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkat Indra Zamrud sebagai raja. Sedangkan mereka sendiri menjadi menteri. "Cerita ini diperkirakan terjadi abad 14. Tapi kemudian diperbarui karena di Kitab Negarakertagama, Kerajaan Bima disebut sudah memiliki pelabuhan besar pada 1365. Ini cocok dengan kisah di Bo Sangaji Kai. Jadi, kemungkinan Kerajaan Bima dimulai pada 1340," papar Maryam.

Bo Sangaji Kai



Bo Sangaji Kai

Kedatangan Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda Van Dongen ke Bima pada 1984 membidani kelahiran kembali Bo Sangaji Kai

Kala itu, Hajjah Siti Maryam Salahuddin, salah satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan Kerajaan Bima.

Maka, berbagai senjata, perhiasan emas dan permata dikeluarkan. Tapi Maryam merasa tidak puas. "Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab Bo Sangaji Kai," ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara itu.

Dia kemudian mulai melakukan pencarian. Tidak sia-sia, akhirnya berhasil dikumpulkan dua peti naskah kuno. "Berserakan di mana-mana. Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau, bahkan bagian terakhir ada yang rusak," cerita Maryam.

Naskah kuno yang dikenal dengan sebutan Bo Sangaji Kai itu pun dipamerkan. Menyedot perhatian Pangeran Bernard dan Van Dongen. Mereka, kata Maryam, tidak tertarik dengan emas permata. Bo Sangali Kai justru menjadi favorit.

Dalam sebuah pertemuan, Pangeran Bernard bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab jujur, belum.

"Saat itu saya malu sekali. Mengapa orang asing yang peduli dengan peninggalan Bima? Siang itu, saya langsung ke pasar mengopi semua naskah. Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat mesin fotocopy rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram, Lombok," kenang Maryam yang sudah puluhan tahun tinggal di Mataram, hingga harus bolak-balik Mataram-Bima.

Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat. Antara lain Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih menyimpan naskah asli.

Bo Sangaji Kai merupakan naskah kuno yang ditulis ulang pada abad 19. Antara lain menggunakan kertas dari Belanda dan China. "Ahli kertas pasti tahu karena di setiap lembarnya tercantum merek kertas yang digunakan," papar Maryam.

Terlepas dari itu, kerajaan di daerah yang kaya kuda ini memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian. Dilakukan terus-menerus selama berabad-abad. Terakhir ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan `bahasa yang diridhoiAllah'.

Itulah sekelumit kisah kelahiran kembali Bo Sangaji Kai Keberadaannya menyentak ahli arkeologi dan filologi dunia. Di antaranya Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis. Dia sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Gairah keilmuannya langsung memuncak.

Henry mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun, pekerjaan belum selesai. Jalan masih panjang. Sampai sekarang, banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh. (S-1)

Friday, November 10, 2006

Anak Sang Bima














Jabatan raja diwarisi turun-temurun. Pada suatu masa, ada keturunan Indra Zamrud yang memiliki 30 anak, dua puluh lelaki dan 10 perempuan. Anak lelakinya dijadikan raja di beberapa daerah Sumbawa. Antara lain Dompu, Bima, dan Sumbawa.
Dari sini, menurut Maryam, ada sepotong kisah yang hilang. Tidak terdapat dalam naskah kuno Bo Sangaji Kai yang baru sebagian kecil sempat dia baca.
Lanjutannya langsung masuk pada perubahan kerajaan menjadi kesultanan atau ketika pertama kali Islam masuk Bima sekitar abad 16. Catatan ini melahirkan banyak kisah baru. Antara lain berdirinya Kampung Melayu di Kota Bima (lihat halaman 6). Kesultanan Bima mengakhiri masa pemerintahan saat Indonesia merdeka 1945.
Raja-raja Sumbawa memutuskan untuk bergabung. Sultan Muhammad Salahuddin, ayahanda Siti Maryam, merupakan sul­tan terakhir Bima. Sesuai dengan UU No 1 Tahun 1957 tentang penghapusan daerah swapraja, Maryam kemudian menyerahkan bangunan kerajaan kepada pemda dan kini dijadikan museum.
Sebagian peninggalan kesultanan berupa mahkota, pedang, hingga furnitur disumbangkan. Sedangkan sebagian lagi disimpan di Samparaja, museum pribadi Maryam bersaudara. Dirawat untuk melengkapi berbagai kenangan tentang ayahanda, juga rentetan jejak langkah sultan-sultan sebelumnya. (S-1)