Tuesday, November 14, 2006


Panutan Daro Mbojo

Malam itu, bulan sabit ditemani ratusan bintang. Jarum jam sudah melewati angka 10 waktu Indonesia bagian timur. Tapi tamu di rumah Siti Maryam Salahuddin yang ada di Bima masih ramai. Dari orang-orang pemda hingga tamu individu yang ingin meminta nasihat dan jalan keluar dari sebuah persoalan. "Mungkin karena lulus sekolah hukum, saya dikira hakim," kata Maryam berkelakar.

Seorang tamu berkomentar, begitulah suasana di rumah jika Maryam kebetulan bersambang ke Bima. Kondisi yang sama juga ditemui di rumahnya yang ada di Mataram. Hampir setiap hari selalu ada tamu. Sekadar mengobrol sampai meminta nasihat.

Maryam lahir 13 Juni 1927. Karismanya tak pupus dimakan usia. Kebijaksanaannya justru bertambah. Tapi kesan utama yang menonjol ialah semangat belajarnya yang tak surut bersama lalunya waktu.

Ada kisah tentang kuatnya kemauan belajar yang sudah dimiliki sejak kecil. Tahun pertama SMA dia jalani di Malang, Jawa Timur. Tapi baru setahun menimba ilmu, dia dipanggil pulang karena meletus perang dunia kedua.

"Harus segera naik pesawat," ceritanya.

Maryam pun menangis, meski tetap menuruti titah sang ayah. Sesampai di Bima, dia harus menjalani masa pemingitan, seperti umumnya gadis-gadis Bima. Dia tidak boleh lagi sekolah. Putri Sultan Muhammad Salahuddin itu akhirnya belajar sendiri di rumah. Dari sang ayah, dia minta dibelikan banyak buku. Baik yang berbahasa Inggris maupun Belanda. Maryam remaja juga mulai mempelajari bahasa Jepang. "Saya tidak mau ditipu karena tidak bisa bahasa Jepang," katanya tergelak.

Roda nasib terus berputar. Sekitar 1949-saat usianya memasuki 22 tahun-Presiden Soekarno datang ke Bima. Dalam sebuah acara makan malam, Bung Karno bertanya, "Kamu sekolah?"

"Tidak, Pak."

"Lo, kenapa?"

"Karena anak perempuan di Bima yang sudah besar tidak boleh sekolah lagi."

Jawaban Maryam membuat kedua orang tuanya kebakaran jenggo Dia pun mendapat cubitan dari sang ibu. Apalagi dalam sebuah pidato di Bima, Bung Karno mengatakan anak perempuan tidak boleh berhenti belajar.

Akhimya, Maryam diperbolehkan lagi sekolah. Dia berangkat ke Jakarta, bekerja di Departemen Luar Negeri, ikut ujian persamaan di SMAN Boedi Oetomo, Jakarta. "Langsung lulus. Saya merasakan betul perbedaan kurikulum Belanda dan Indonesia. Saat itu, saya bisa melalui ujian dengan sangat mudah," katanya. Maryam kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia hingga meraih gelar sarjana. Dalam catatan kariernya, Maryam sempat menjadi staf khusus pidana kehakiman, anggota DPR RI, Ketua Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, juga Ketua Atletik Indonesia.

Dalam keseharian, dia dikenal sebagai pribadi jujur dan arif. Utamanya semangat belajar yang tak pernah surut. Pengetahuannya yang luas, terutama tentang sejarah Bima, membuat dia banyak dicari orang. Tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri.

Di usia senja, Maryam masih sangat aktif. Penguasaan bahasa menunjang semua itu. Dia lancar berbahasa Arab, Belanda, Prancis, Inggris, dan sedikit Jepang. Kini, dia tengah memperdalam aksara Bima. Maryam menjadi panutan sekaligus inspirasi banyak orang.

Tak terasa, malam kian larut. Udara Bima makin dingin. Jarum jam menunjukkan angka 12. Tapi Maryam masih bersemangat. Di depannya berserakan aneka buku, termasuk salah satu kitab asli Bo Sangaji Kai Tim Media Indonesia dan Metro TV pamit. Kantuk tak lagi tertahan, kalah dengan semangat putri ketujuh Sultan Muhammad Salahuddin yang usianya sudah memasuki kepala delapan. (S-1)

1 comment:

sepakbolanda said...

Saya kemarin 11/09/2008 bertemu dengan Hajjah Mariam, di Madurodam Den Haag Belanda. Beliau di Belanda sedang menelusuri tulisa-tulisan sejarah tentang Kerajaan Bima di Universitas Leiden. Pertemuan yang sangat mengesankan. Dua hal: 1. Bima ternyata punya sejarah panjang yang bisa memberi inspirasi buat remaja Bima. 2. Tidak ada kata tua untuk berfikir dan belajar. Usianya sudah di atas 80 tahun tapi masih kuliah S3 di Unpad Bandung. Hebat dan salut.. kalau itu adalah karakter yang juga dipunyai generasi muda Bima??
Maka kesanku tambah satu lagi. Bima kau harus Bangga!